Penilaian Afektif Mata Pelajaran Matematika SD Kelas Rendah
Belajar matematika merupakan sebuah tantangan bagi sebagian siswa. Siswa selalu menganggap bahwa matematika itu sulit, membosankan, tidak praktis, abstrak, dan lain-lain. Pemikiran seperti ini yang sangat mempengaruhi kegagalan siswa dalam belajar. Masalah umum dalam belajar matematika adalah masalah sikap siswa terhadap pelajaran matematika bukan masalah kekurangan dalam kemampuan (Colomeischi, 2014).
Dalam pembelajaran matematika, keberhasilan belajar bukan hanya dinilai dari kemampuan kognitif atau psikomotorik saja, namun kemampuan afektif siswa sangat berpengaruh. Siswa yang memiliki minat dan sikap positif terhadap suatu pelajaran maka akan termotivasi untuk belajar, sehingga dapat mencapai hasil pembelajaran yang optimal.
Pembelajaran Matematika
Pembelajaran memiliki kata dasar “belajar”. Sedangkan belajar adalah suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas (Winkel, 2013).
Belajar merupakan kegiatan yang kompleks. Hasil belajar berupa kapabilitas. Setelah belajar, seseorang akan memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap, dan nilai. Timbulnya kapabilitas tersebut dari stimulasi yang berasal dari lingkungan dan proses kognitif yang dilakukan oleh guru. Sehingga belajar menurut Gagne adalah seperangkat proses kognitif yang mengubah sifat stimulasi lingkungan, melewati pengolahan informasi, menjadi kapabilitas baru. Ada tiga komponen dalam belajar yaitu:
- Kondisi eksternal;
- Kondisi internal;
- Hasil belajar. (Gagne, 1998)
Sehingga belajar pada hakikatya adalah suatu proses memperoleh pengetahuan dan pengalaman dalam wujud perubahan tingkah laku dan kebiasaan yang relatif permanen karena adanya interaksi individu dengan linkungan dan dunia nyata. Melalui proses belajar seseorang akan memiliki pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang lebih baik.
Sedangkan matematika adalah disiplin ilmu yang mempelajari tentan tata cara berpikir dan mengolah logika, baik secara kuantitatif maupun secara kualitatif (Suherman, 2003).
Matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logis, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang didefinisikan dengan cermat, jelas, dan akurat reperesentasinya dengan simbol mengenai ide daripada mengenai bunyi (Johnson dan Rising, 1972).
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, maka dapat disimpulkan bahwa matematika adalah suatu ilmu yang mempelajari tentang susunan atau struktur yang terorganisasikan yang dimulai dengan unsur yang tidak didefinisikan/diartikan, ke dalam unsur yang didefinisikan ke aksioma dan pada akhirnya ke dalil yang mana fungsi praktisnya berguna untuk mengoperasikan hubungan-hubungan kuantitatif serta keruangan, sehingga fungsi teoritisnya ialah guna memudahkan berpikir.
Lebih lanjut, pembelajaran matematika menurut Bruner adalah belajar tentang konsep dan struktur matematika yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep dan struktur matematika di dalamnya. Dalam pembelajaran matematika para siswa dibiasakan untuk memperoleh pemahaman melalui pengalaman tentang sifat-sifat yang dimiliki dan yang tidak dimiliki sekumpulan objek (Suherman, 2003).
Menurut Cobb pembelajaran matematika sebagai proses pembelajaran yang melibatkan siswa secara aktif mengonstruksi pengetahuan matematika. Hakikat pembelajaran matematika adalah proses yang sengaja dirancang dengan tujuan untuk menciptakan suasana lingkungan yang memungkinkan pelajar melaksanakan kegiatan belajar matematika dan pembelajaran matematika harus memberikan peluang kepada siswa untuk berusaha mencari pengalaman tentang matematika.
Dari definisi di atas maka dapat disimpulkan bahwa Pembelajaran matematika adalah suatu proses interaksi belajar mengajar pelajaran matematika yang dilakukan antara siswa dan guru yang mana proses tersebut merupakan sebagai sarana atau wadah yang berfungsi untuk mempermudah berpikir di dalam ilmu atau konsep-konsep abstrak.
Adapun tujuan pembelajaran matematika adalah:
- Melatih cara berpikir dan bernalar dalam menarik kesimpulan;
- Mengembangkan aktivitas kreatif yang melibatkan imajinasi, intuisi, dan penemuan dengan mengembangkan pemikiran divergen, orisinil, rasa ingin tahu, membuat prediksi dan dugaan serta mencoba-coba;
- Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah;
- Mengembangkan kemampuan menyampaikan informasi atau mengkomunikasikan gagasan (Nurhadi, 2004).
Pengertian Ranah Afektif
Ranah ini mencakup kemampuan yang menyangkut aspek emosi seperti perasaan, nilai, apresiasi, motivasi dan sikap. Pada ranah ini juga terbagi dalam beberapa bagian yang meliputi aspek penerimaan terhadap lingkungannya, tanggapan atau respons terhadap lingkungan, penghargaan dalam bentuk ekspresi nilai terhadap sesuatu, mengorganisasikan berbagai nilai untuk menemukan pemecahan, serta karakteristik dari nilai-nilai yang menginternalisasi dalam diri.
Ranah afektif menentukan keberhasilan belajar seseorang. Orang yang tidak memiliki minat pada pelajaran tertentu sulit untuk mencapai keberhasilan belajar secara optimal. Seseorang yang berminat dalam suatu mata pelajaran diharapkan akan mencapai hasil pembelajaran yang optimal. Oleh karena itu, semua pendidik harus mampu membangkitkan minat semua peserta didik untuk mencapai kompetensi yang telah ditentukan. Selain itu ikatan emosional sering diperlukan untuk membangun semangat dalam belajar.
Ada lima tingkatan ranah afektif, yaitu:
A. Receiving
Peserta didik memiliki keinginan memperhatikan suatu fenomena khusus atau stimulus, misalnya kelas, kegiatan, musik, buku, dan sebagainya. Tugas pendidik mengarahkan perhatian peserta didik pada fenomena yang menjadi objek pembelajaran afektif. Misalnya pendidik mengarahkan peserta didik agar senang membaca buku, senang bekerja sama, dan sebagainya. Kesenangan ini akan menjadi kebiasaan, dan hal ini yang diharapkan, yaitu kebiasaan yang positif.
B. Responding
Responding (menanggapi) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi kemampuan menanggapi adalah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikut sertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya salah satu cara.
C. Valuing
Memberikan nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau obyek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing adalah merupakan tingkat afektif yang lebih tinggi lagi daripada receiving dan responding. Dalam kaitan dalam proses belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan tetapi mereka telah berkemampuan untuk menilai konsep atau fenomena.
D. Organization
Tujuan ranah ini mengacu pada penyatuan nilai. Dalam tujuan ranah ini nantinya akan mencakup tingkah laku yang tercermin pada peserta didik.
E. Characterization by a Value
Tujuan ranah afektif ini mengacu pada karakter dan daya hidup seseorang. Nilai-nilai berkembang secara teratur sehingga tingkah laku akan menjadi lebih konsisten dan lebih mudah untuk diperkirakan. Tujuan dari kategori ini berhubungan dengan keteraturan pribadi, sosial, dan emosi jiwa (Krathwohl, 1981).
Karakteristik Ranah Afektif
Terdapat dua hal yang berhubungan dengan penilaian afektif yang harus dinilai. Pertama, kompetensi afektif yang ingin dicapai dalam pembelajaran meliputi tingkatan pemberian respons, apresiasi, penilaian dan internalisasi. Kedua, sikap dan minat peserta didik terhadap mata pelajaran dan proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran terdapat empat tipe karakteristik afektif yang penting yaitu:
A. Sikap
Sikap adalah suatu predisposisi yang dipelajari untuk merespons secara positif atau negatif terhadap suatu objek, situasi, konsep atau orang.
B. Minat
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu aktivitas tanpa ada yang menyuruh. Minat berhubungan dengan perhatian, seseorang yang menaruh minat pada mata pelajaran tertentu cenderung untuk memperhatikan mata pelajaran tersebut.
C. Nilai
Nilai merupakan suatu keyakinan tentang perbuatan, tindakan, atau peri laku yang dianggap baik dan yang dianggap jelek.
D. Konsep diri
Konsep diri adalah evaluasi yang dilakukan individu terhadap kemampuan dan kelemahan yang dimilikinya. Konsep diri ini penting bagi peserta didik untuk menentukan jenjang karir mereka yaitu dengan mengetahui kekuatan dan kelemahan diri sendiri maka bisa dipilih alternatif karir yang tepat bagi dirinya. Informasi tentang konsep diri peserta didik ini penting bagi pendidik untuk memotivasi belajar peserta didik dengan tepat.
Peranan Ranah Afektif dalam Pembelajaran Matematika
Pentingnya peranan afektif dalam pembelajaran matematika sangatlah penting. Seperti peran motivasi dan emosi, ketika siswa kurang memiliki motivasi maka pembelajaran sangat sulit untuk dimulai dan ketika siswa merasa putus asa, proses belajar mereka mudah dihentikan. Sikap siswa terhadap matematika dipisahkan menjadi 4 proses evaluatif, yaitu:
- Emosi yang dialami siswa selama kegiatan matematika;
- Emosi bahwa siswa secara otomatis mengasosiasikan dengan konsep matematika;
- Evaluasi situasi yang dialami siswa, mengharapkan untuk mengikuti seba gai konsekuensi dari melakukan matematika;
- Nilai tujuan terkait matematika di struktur tujuan global siswa.
Emosi dianggap sebagai proses yang paling mendasar, yang mendasari setiap ekspresi evaluasi satu sama lain. Selain dari emosi, keyakinan juga sangan berpengaruh dalam pembelajaran matematika. McLeod menunjukkan pada dua kategori kepercayaan yang tampak lebih berpengaruh, yaitu keyakinan murid itu sendiri dan keyakinan tentang kepercayaan diri, konsep diri dan atribusi penyebab keberhasilan dan kegagalan akademik.
Menurut taksonomi McLeod tentang kepercayaan itu, kepercayaan terdiri
atas 4 jenis, yaitu:
- Kepercayaan tentang matematika:
- Kepercayaan tentang diri sendiri;
- Kepercayaan tentang pembelajaran matematika, dan
- Kepercayaan tentang tautan sosial matematika.
Daftar Pustaka
- Gagne, R. M. (1998). Principle of Instrucional Design. New York. Chicago Holt, Renart and Winston, Inc.
- Colomeischi, A. A. Dan Colomeischi, T. (2014). The Students Emotional Life and Their Attitude toward Mathematics Learning. Science Direct, 180 (2015), 744-750.
- Johnson dan Rising. (1972). Math on Call: A Mathematics Hanbook, Great Source Education Group. Inc/Houghton Mifflin Co.
- Krathwohl D. R., Bloom, B. S., dan Masla, B. V. (1981). Taxonomy of Educational Objectives: Book 2, Affective Domain. New York: Longman.
- McLeod, D. B. (1992). Beliefs, Attitudes, and Emotions: New View of Affect in Mathematics Educations. In D.B McLeod & V.M Adams (eds). Affect and Mathematical Problem Solving. Springer-Verlag (pp. 245-258).
- Morrison, G. S. (2012). Dasar-dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Jakarta: Indeks.
- Moursund, D. (2016). Learning Problem Solving Strategies By Using Games: A Guide for Educators and Parents. Eugene, Oregon, USA: Information Age Educations.
- Nurhadi. (2004). Kurikulum 2004. Jakarta: Grasindo.
- Wiersum, E. G. (2012). Teaching and Learning Mathematics Through Games and Activities. Journal Acta Electrotechnica et Informatica, Vol. 12, No. 3, 2012, p. 23-26.