Macam-macam Pendekatan Pembelajaran Bahasa


Pendekatan dapat diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran. Pendekatan merujuk pada proses yang sifatnya masih sangat umum (Sanjaya, 2011:127).

Menurut Tarigan (1995:5), pendekatan adalah seperangkat asumsi yang bersifat aksiomatik mengenai hakikat bahasa, pengajaran, bahan, dan belajar bahasa yang digunakan sebagai landasan dalam merancang, melakukan, dan menilai proses belajar bahasa.

Menurut Anthony (Ismati dan Umaya, 2012:76), pendekatan (approach) adalah sekumpulan asumsi yang terkait dengan hakikat bahasa dan hakikat belajar bahasa.

Dapat disimpulkan bahwa pendekatan pembelajaran bahasa merupakan seperangkat asumsi tentang hakikat bahasa, pengajaran bahasa, dan proses belajar bahasa.

Macam-macam Pendekatan Pembelajaran Bahasa

Roy Killen (1998:256) menyatakan ada dua pendekatan, yaitu pendekatan yang berpusat pada guru (teacher-centered approaches) dan pendekatan yang berpusat pada siswa (student-centered approaches). Dari dua konsep tersebut, berkembanglah pendekatan pembelajaran lebih lanjut yang mendasari strategi pembelajaran di kelas.

1. Pendekatan Tujuan

Pendekatan tujuan dilandasi oleh pemikiran bahwa dalam setiap kegiatan belajar mengajar yang harus dipikirkan dan ditetapkan dulu adalah tujuan yang ingin dicapai. Dengan adanya tujuan yang telah ditetapkan akan mudah menentukan metode dan teknik apa yang akan digunakan dalam pembelajaran, dan akan tercapai apa yang telah ditetapkan (Isah Cahyani, 2012:74).

Jadi, menurut pendekatan ini proses pembelajaran harus ditentukan terlebih dahulu tujuan yang ingin dicapai, sehingga selanjutnya dapat menentukan strategi yang digunakan agar tujuan tersebut tercapai secara efektif.

Misalnya, dalam pokok bahasan menulis, tujuan pembelajaran yang ditetapkan ialah “siswa mampu membuat karangan/cerita berdasarkan pengalam pribadi atau informasi dari bacaan”. Berdasar pada pendekatan tujuan, maka yang penting ialah tercapainya tujuan, yakni siswa memiliki kemampuan mengarang atau membuat cerita.

2. Pendekatan Struktural

Pendekatan struktural merupakan salah satu pendekatan yang digunakan dalam proses pembelajaran bahasa. Pendekatan ini dilandasi dengan asumsi bahwa bahasa sebagai akidah, norma, dan aturan.

Pendekatan struktural lebih menitikberatkan pada penguasaan tata bahasa atau akidah-akidah bahasa. Pembelajaran bahasa menurut pendekatan ini difokuskan pada pengetahuan struktur bahasa yang mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis.

Dalam hal ini pengetahuan tentang struktur bahasa mencakup tentang suku kata, pola kata, dan pola kalimat.

3. Pendekatan Keterampilan Proses

Pendekatan keterampilan proses adalah suatu kegiatan belajar mengajar yang terfokus pada pelibatan peserta didik secara aktif dan kreatif dalam pemerolehan hasil belajar.

Ketermapilan proses ini meliputi keterampilan intelektual, keterampilan sosial, dan keterampilan fisik. Menurut pendekatan ini, peserta didik tidak hanya diberikan materi apa yang harus dipelajari, melainkan juga belajar bagaimana cara mempelajari bahasa itu sendiri.

Keterampilan proses berfungsi sebagai alat untuk menemukan dan mengembangkan suatu konsep. Hubungan antara keterampilan proses dan pengembangan konsep dalam pembelajaran menghasilkan sikap dan nilai dalam diri siswa.

4. Pendekatan Terpadu

Pendekatan terpadu dalam pembelajaran Bahasa Indonesia berarti pendekatan yang pelaksanaannya memadukan aspek-aspek bahasa.

Aspek-aspek bahasa tersebut di dalam praktik berbahasa selalu digunakan secara bersama dan terpadu, baik aspek-aspek kebahasaan maupun aspek-aspek keterampilan berbahasa. Bahkan dengan bidang bidang lain, bahasa selalu menyatu di dalam pemakaian.

Pembelajaran bahasa secara terpadu menaruh penghargaan terhadap bahasa, dan dengan seksama meningkatkan penguasaan bahasa siswa (Yeager, 1991). Hal-hal penting yang terjadi di dalam kelas dengan bahasa terpadu menurut Yeager adalah sebagai berikut.
  • Siswa banyak bergaul dengan literatur (bacaan)
  • Siswa merasakan peningkatan dalam belajarnya dan memperlihatkan kesanggupan belajar yang tinggi.
  • Guru-guru berinteraksi dengan siswa, baik sebagai pembaca maupun sebagai penulis.
  • Guru memperlihatkan perhatiannya terhadap bacaan dan penulisan pada umumnya.

Baca Juga: Macam-macam Metode dan Pendekatan dalam Pembelajaran

5. Pendekatan Komunikatif

Pendekatan komunikatif merupakan pendekatan yang berlandaskan pada pemikiran bahwa kemampuan menggunakan bahasa dalam berkomunikasi merupakan tujuan yang harus dicapai dalam pembelajaran bahasa (Zuchdi dan Budiarsih, 1996/1997:33-34).

Hal ini sesuai dengan yang dituntut baik oleh Kurikulum 1994 maupun oleh Kurikulum 2004, bahwa tujuan pembelajaran bahasa Indonesia di SD tidak lagi untuk menciptakan bagaimana peserta didik memahami tentang bahasa, tetapi lebih ditekankan pada kemampuan menggunakan Bahasa Indonesia secara lisan dan tulisan.

Kompetensi berbahasa seseorang tidak memberikan pengaruh terhadap performansi berbahasanya atau sebaliknya. Pengetahuan kebahasaan bertalian dengan pengetahuan penutur terhadap bahasa sebagai suatu sistem dan merupakan kemampuan potensial dalam diri penutur.

Melalui kemampuan potensial ini penutur dapat menciptakan tuturantuturan, biasanya berupa kalimat-kalimat. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kompetensi linguistik merupakan daya dorong untuk berbahasa secara kreatif. Pandangan tersebut diperluas oleh para pakar dari versi kuat.

Jadi pembelajaran yang komunikatif adalah pembelajaran bahasa yang memungkinkan peserta didik memiliki kesempatan yang memadai untuk mengembangkan kebahasaan dan mengunjukkan dalam kegiatan berbahasa, baik kegiatan produktif maupun reseptif sesuai denagn situasi yang nyata, bukan situasi buatan yang terlepas dari konteks.

Brumfit dan Finocchiaro (dalam Richards dan Rogers, 186:87) mengungkapkan ciri-ciri pendekatan komunikatif adalah.
  • Makna merupakan hal yang terpenting.
  • Percakapan harus berpusat di sekitar fungsi komunikatif dan tidak dihafalkan secara normal.
  • Kontekstualisasi merupakan premis pertama.
  • Belajar bahasa berarti belajar berkomunikasi.
  • Dianjurkan berkomunikasi efektif.
  • Latihan penubihan Atau drill diperbolehkan, tetapi tidak memberatkan.
  • Ucapan yang dapat dipahami diutamakan.
  • Setiap alat bantu peserta didik diterima dengan baik.
  • Segala upaya untuk berkomunikasi dapat didorong sejak awal.
  • Penggunaan bahasa secara bijaksana dapat diterima bila memang layak.
  • Terjemahan digunakan jika diperlukan peserta didik.
  • Membaca dan menulis dapat dimulai sejak awal.
  • Sistem bahasa dipelajari melalui kegiatan berkomunikasi.
  • Komunikasi komunikatif merupakan tujuan.
  • Variasi linguistik merupakan konsep inti dalam materi dan metodologi.
  • Urutan ditentukan berdasarkan pertimbangan isi, fungsi, atau makna untuk memperkuat minat belajar.
  • Guru mendorong peserta didik agar dapat bekerja sama dengan menggunakan bahasa itu.
  • Bahasa diciptakan oleh peserta didik melalui mencoba dan mencoba.
  • Kefasihan dan bahasa yang berterima merupakan tujuan utama, ketepatan dinilai dalam konteks bukan dalam keabstrakan.
  • Peserta didik diharapkan berinteraksi dengan orang lain melalui kelompok atau pasangan, lisan dan tulis.
  • Guru tidak bisa meramal bahasa apa yang akan digunakan peserta didiknya.
  • Motivasi intrinksik akan timbul melalui minat terhadap hal-hal yang dikomunikasikan.
Robin dan Thompson (dalam Tarigan, 1990:201) mengemukakan bahwa ciri-ciri peserta didik yang sesuai dengan konsep pendekatan komunikatif adalah.
  • Selalu berkeinginan untuk menafsirkan tuturan secara tepat.
  • Berkeinginan agar bahasa yang digunakan selalu komunikatif.
  • Tidak merasa malu jika berbuat kesalahan dalam berkomunikasi.
  • Selalu menyesuaikan bentuk dan makna dalam berkomunikasi.
  • Frekuensi latihan berbahasa lebih tinggi.
  • Selalu memantau ujaran sendiri dan ujaran mitra bicaranya untuk mengetahui apakah pola-pola bahasa yang diucapkan tersebut dapat diterima dan dipahami oleh masyarakat.
Berdasarkan konsep pendekatan komunikatif, guru bukanlah penguasa tunggal dalam kelas. Guru bukanlah satu-satunya pemberi informasi dan sumber belajar, akan tetapi guru juga sebagai penerima informasi dari peserta didik.

Jadi pembelajaran didasarkan atas multi sumber. Sumber pembelajaran adalah guru, peserta didik, dan lingkungan.

6. Pendekatan Kontekstual (CTL)

Johnson (Nurhadi, 2004:12) mengungkapkan sistem kontekstual adalah suatu proses pendidikan yang bertujuan membantu peserta didik melihat makna dalam bahan yang mereka pelajari dengan cara menghubungkannya dengan konteks kehidupannya sehari-hari.

Sementara, The Washington State Consortium for Contextual Teaching and Learning merumuskan pengajaran kontekstual adalah pengajaran yang memungkinkan peserta didik memperkuat, memperluas, dan menerapkan pengetahuan dan keterampilan akademisnya dalam berbagai latar di sekolah dan di luar sekolah untuk memecahkan persoalan yang ada dalam dunia nyata.

Nurhadi (2004:13) menyimpulkan bahwa pembelajaran kontekstual adalah konsep belajar pasda saat guru menghadirkan dunia nyata ke dalam kelas dan mendorong peserta didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupannya sehari-hari.

Proses pembelajaran berlangsung secara alamiah dalam bentuk pesera didik bekerja dan mengalami, bukan berupa pemindahan pengetahuan dari guru kepada peserta didik.

Johnson (Nurhadi, 2004:13-14) mengungkapkan bahwa karakteristik pendekatan kontekstual memiliki delapan komponen utama yaitu.
  • Memiliki hubungan yang bermakna.
  • Melakukan kegiatan yang signifikan.
  • Belajar yang diatur sendiri.
  • Bekerja sama.
  • Berfikir kritis dan kreatif.
  • Mengasuh dan memelihara pribadi peserta didik.
  • Mencapai standar yang tinggi.
  • Menggunakan penilaian autentik.
Sementara, The Northwest Regional EducationLaboratory USA (dalam Nurhadi, 2004:14-15) mengidentifikasi adanya enam kunci dasar pembelajaran kontekstual yaitu.
  • Pembelajaran bermakna.
  • Penerapan pengetahuan.
  • Berpikir tingkat tinggi.
  • Kurikulum yang dikembangkan berdasarkan standar.
  • Responsif terhadap budaya.
  • Penilaian autentik.
Lebih kompleks lagi, karakteristik pendekatan kontekstual yang diungkapkan oleh Departemen Pendidikan Nasional (2003-20-21) yaitu.
  • Kerjasama.
  • Saling menunjang.
  • Menyenangkan.
  • Belajar dengan bergairah.
  • Pembelajaran terintegrasi.
  • Menggunakan berbagai sumber.
  • Peserta didik aktif.
  • Sharing dengan teman.
  • Peserta didik kritis.
  • Guru kreatif.
  • Dinding kelas dan lorong-lorong penuh dengan hasil karya peserta didik, peta, gambar, artikel, dan sebagainya.
  • Laporan kepada orang tua bukan hanya rapor, melainkan hasil karya peserta didik, laporan hasil praktikum, karangan, dan sebagainya.
Sesuai dengan komponen yang dimiliki oleh pendekatan kontekstual, maka sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan tersebut jika mengggunakan ketujuh komponen yaitu konstruktivisme, menemukan, bertanya, masyarakar belajar, pemodelan, refleksi, dan asesmen autentik.

7. Pendekatan Whole Language

Whloe Language diciptakan pada tahun 1980-an oleh para pendidik Amerika Serikat yang peduli dengan seni pengajaran membaca dan menulis dalam bahasa asli.

Menurut Brenner dalam Corlo, De, J.E “whole language is a way of teaching pre reading, reading and other language skill through all proccess that involve language, writing, talking, listening to stories, creating stories, art work and dramatic play as through more traditional path ways” (Carlo, De, J.E, 1995:88).

Berdasarkan pendapat di atas, whole language adalah suatu cara mengajar pra baca, membaca dan keterampilan bahasa melalui semua proses yang melibatkan bahasa, menulis, membaca, mendengarkan cerita, mengarang cerita, karya seni, bermain drama, maupun cara-cara yang lebih tradisional.

Whole language approach adalah pendekatan pembelajaran bahsa yang menyajikan pengajaran bahasa secara utuh, artinya tidak terpisah-pisah. Pendekatan whole language berasumsi bahwa bahasa merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Oleh karena itu pembelajaran komponen bahasa (fonem, morfem, klausa, kalimat, wacana) dan keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis) harus dapat disajikan secara utuh dalam situasi yang nyata (autentik) dan bermakna kepada peserta didik.

Menurut Santosa dkk ada 8 komponen dalam pendekatan whole language. yaitu reading aloud, journal writing, sustained silent reading, shared reading, guided reading, independent reading, dan independent writing. Di bawah ini akan dijelaskan setiap komponen satu persatu.

A. Reading aloud adalah kegiatan membaca yang dilakukan oleh guru siswanya. Guru membaca dengan keras dan intonasi yang baik sehingga siswa dapat menikmatinya.

Reading aloud berguna untuk melatih keterampilan menyimak siswa, memperkaya kosakata, meningkatkan minat dan pemahaman siswa.Reading aloud dilakukan kira-kira-10 menit dan bertujuan mengajak siswa untuk melakukan suasana belajar.
B. Jurnal writing, menulis jurnal merupakan cara yang aman untuk menulis atau mengungkapkan perasaan siswa, menceritakan kejadian yang dialaminya, alam sekitar, dan bentuk-bentuk lain dalam penggunaan bahasa secara tertulis.

Manfaat menulis jurnal antara lain adalah (1) dapat meningkatkan kemampuan menulis; (2) meningkatkan kemampuan membaca; (3) menumbuhkan keberanian mengambil atau menghadapi resiko; (4) memberi kesempatan siswa untuk refleksi; (5) memvalidasi perasaan dan pengalaman pribadi; (6) memberikan tempat yang nyaman untuk menulis: (7) meningkatkan kemampuan berpikir. (8) meningkatkan kesadaraan akan peraturan menulis; (9) menjadi alat evaluasi: (10) menjadi dokumen tertulis (yang merupakan karya siswa/produk).

C. Sustained Silent Reading (SSR), merupakan kegiatan membaca dalam hati yang dilakukan siswa. Dalam hal ini siswa diberi kesempatan untuk memilih sendiri buku atau materi yang akan dibacanya.

Kegiatan ini mengandung pesan bahwa (1) membaca merupakan kegiatan penting dan menyenangkan; (2) membaca dapat dilakukan oleh siapapun; (3) membaca berarti berkumunikasi dengan penulis buku atau teks yang dibaca; (4) siswa dapat membaca atau berkonsentrasi pada bacaan dengan waktu cukup lama; (5) guru percaya bahwa siswa paham akan teks yang dibacanya; (6) siswa dapat berbagi pengetahuan setelah SSR berakhir.

D. Shared Reading adalah kegiatan membaca bersama antara guru dan siswa dimana setiap person mempunyai buku yang sedang dibacanya.

Cara ini dilakukan di sekolah rendah hingga sekolah tinggi. Maksud kegiatan ini adalah (1) sambil melihat tulisan siswa berkesempatan memperhatikan guru membaca sebagai model; (2) memberikan kesempatan yang luas untuk memperlihatkan keterampilan membacanya; (3) siswa yang kurang terampil membaca mendapat contoh membaca yang benar. Guru berperan sebagai model.

E. Guided Reading (membaca terbimbing) adalah kegiatan membaca dimana semua siswa membaca dan mendiskusikan buku yang sama. Guru berperan sebagai pengamat dan fasilitator, bertugas memberikan pertanyan pemahaman. Siswa menjawab dengan kritis.

F. Guided Writing (menulis terbimbing), adalah kegiatan menulis di bawah bimbingan guru, bagaimana menulis sistematis, jelas, dan menarik, dapat menemukan apa yang ingin ditulis dan sebagainya. Dalam hal memlih topik, membuat draft, memperbaiki dan mengedit dilakukan oleh siswa.

G. Independent Reading (membaca bebas) adalah kegiatan membaca dimana siswa menentukan sendiri materi yang akan dibacanya. Peran guru yang sebelumnya menjadi pemrakarsa, model, dan penuntun, berubah menajdi pengamat, fasilitator, dan pemberi respon. Bacaan dapat berupa fiksi maupun nonfiksi, dan guru dapat memilih buku yang akan dibaca oleh siswanya.

H. Independent Writing (menulis bebas) adalah kegiatan untuk meningkatkan kemampuan menulis, meningkatkan kebiasan menulis, dan meningkatkan kemampuan berpikir kritis. Dalam independent writing siswa berkesempatan menulis tanpa intervensi guru (Ismawati, 92-94).

Dalam pendekatan whole language guru harus mengetahui bagaimana belajar bahasa, bagaimana memberikan waktu, dan kesempatan kepada peserta didik untuk belajar dalam baca-tulis.

Ciri khas yang dapat dilakukan dalam kelas dalam pendekatan whole language ini peserta didik akan melakukan; (1) berkembang melalui tahap-tahap sesuai dengan perkembangan. (2) dilibatkan dalam interaksi sosial sepanjang hari, (3) berbagai tanggung jawab dalam mereka belajar, (4) merasa senang mencoba dan praktik baca tulis tanpa takut kritikan. (5) mengevaluasi kemajuan mereka sebagai bagian alamai dari semua pengalaman belajar.

Menurut Alamsyah (2001: 21-22) ada tujuh ciri yang menandakan kelas whole language:
  • Kelas yang menerapkan whole language penuh dengan barang cetakan. Barang-barang tersebut dapat tergantung di dinding, pintu dan sudut yang ada dalam kelas. Hasil Kerja peserta didik dapat menghiasi dinding dan bulletin board. Karya tulis yang dihasilkan oleh peserta didik dapat menggantikan bulletin board yang dibuat oleh guru. Salah satu sudut kelas dapat dirubah menjadi perpustakaan, dilengkapi dengan berbagai macam jenis buku, majalah, kamus, koranm dan barang cetak lainnya. Semuanya dapat disusun dengan rapiberdasarkan pengarang atau jenisnya sehingga memudahkan peserta didik dalam memilih buku.
  • Kelas whole language siswa belajar melalui model atau contoh Guru dapat menjadi model dalam bentuk aktivitas berbahasa yang ideal, seperti dalam kegiatan membaca, berbicara, menulis, dan berbicara. Media over head projector (OHP) dapat membantu dalam proses pembelajaran.
  • Kelas whole language siswa bekerja dan belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya. Agar siswa dapat belajar sesuai dengan tingkat perkembanganya, di kelas harus tersedia buku dan materi yang menunjang. Buku dapat disususn berdasarkan tingkat kemampuan membaca siswa, sehingga siswa dapat memilih buku yang sesuai dengan kemampuannya. Di kelas juga tersedia meja besar yang dapat digunakan siswa untuk menulis. melakukan editing dengan temannya atau membuat cover untuk buku yang ditulisnya. Langkah-langkah menulis tertempel di dinding sehingga siswa dapat melihatnya setiap saat.
  • Kelas whole language siswa berbagi tanggung jawab dalam pembelajaran. Peran guru di kelas whole language hanya sebagai fasilitator dan siswa mengambil alih beberapa tanggung jawab yang biasanya dilakukan oleh guru. Siswa membuat kumpulan kata (word bank), melakukan brainstorming, dan mengumpulkan fakta. Pekerjaan siswa ditulis pada chart, dan terpampang diseluruh ruangan. Siswa menjaga kebersihan dan kerapian kelas. Buku perpustakaan dipinjam dan dikembalikan oleh siswa tanpa bantuan guru. Buku bacaan atau majalah dibawa oleh siswa dari rumah. Pada salah satu bulletin board terpampang pembagian tugas untuk setiap siswa. Siswa bekerja dan bergerak bebas di kelas.
  • Kelas whole language siswa terlibat aktif dalam pembelajaran bermakna. Siswa secara aktif terlibat dalam kegiatan pembelajaran yang membantu mengembangkan rasa tanggung jawab dan tidak tergantung.Siswa terlibat dalam kegiatan kelompok kecil dan kegiatan individual. Ada kelompok yang membuat pelajaran sejarah. Siswa lain secara individual menulis respon terhadap buku yang dibacanya, membuat buku, membuat kembali cerita rakyat, atau mengedit draft final. Guru terlibat dalam konfrensi dengan siswa atau berkeliling ruangan mengamati siswa, berinteraksi dengan siswa atau membuat catatan tentang kegiatan siswa.
  • Kelas whole language siswa berani mengambil resiko dan bebas bereksperimen. Guru di kelas whole language menyediakan kegiatan belajar dalam berbagai kemampuan sehingga semua siswa dapat berhasil. Hasil tulisan siswa dipajang diseputar kelas. Siswa dipacu untuk melakukan yang terbaik. Namun, guru tidak boleh mengaharpkan kesempurnaan Yang terpenting adalah respon dan jawaban yang diberikan siswa dapat diterima.
  • Kelas whole language siswa mendapat balikan (feedback) positif dari guru maupun temannya sendiri. Ciri kelas whole language adalah pemberian feedback dengan segera. Meja ditata berkelompok agar memungkinkan siswa berdiskusi, berkolaborasi, dan melakukan konferensi. Konferensi antara guru dan siswa memberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan penilaian diri dan melihat perkembangan diri. Siswa yang mempresentasikan hasil tulisannya mendaptkan respon positif dari temannya. Hal ini dapat membangkitkan rasa percaya diri pada siswa.
Pendekatan whole language ini dilandasi oleh teori belajar humanistik dan kontruktivisme yang beranggapan bahwa peserta didik akan membentuk sendiri pengetahuannya melalui peran aktifnya dalam belajar secata utuh (whole) dan terpadu (integrated).

Guru bertugas sebagai fasilitator yang menyediakan lingkungan, sarana dan prasarana yang menunjang untuk tumbuhnya motivasi belajar peserta didiknya, sehingga akan peserta didik akan termotivasi untuk belajar dan terus belajar jika apa yang mereka pelajari itu penting dan berguna bagi kehidupan mereka.

Kesimpulan

Pendekatan pembelajaran merupakan cara seorang guru dalam menyampaikan pesan dalam proses belajar mengajar agar pesan tersebut dapat tersampaikan dengan baik untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Sementara itu, pendekatan pembelajaran bahasa merupakan sekumpulan asumsi yang terkait dengan hakikat bahasa dan hakikat belajar bahasa.

Pendekatan pembelajaran bahasa ada berbagai macam, yakni pendekatan tujuan, pendekatan struktural, pendekatan keterampilan proses, pendekatan terpadu, pendekatan komunikatif, pendekatan kontekstual, dan pendekatan whole language.
Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url