Hakikat Manusia : Makhluk Individu dan Sosial, Makhluk Jasmani dan Rohani, Makhluk Menyejarah

Manusia Sebagai Makhluk Individu Dan Sosial

Manusia Sebagai Makhluk Individu

Individu berasal dari kata in dan divided. Dalam Bahasa Inggris in salah satunya mengandung pengertian tidak, sedangkan divided artinya terbagi. Jadi, individu artinya tidak terbagi, atau suatu kesatuan. 

Dalam bahasa latin individu berasal dari kata individium yang berarti yang tak terbagi, jadi merupakan suatu sebutan yang dapat dipakai untuk menyatakan suatu kesatuan yang paling kecil dan terbatas. Individu bukan berarti manusia sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dibagi-bagi melainkan sebagai kesatuan yang terbatas, yaitu sebagai manusia perorangan sehingga sering digunakan sebagai sebutan “orang-seorang” atau “manusia perorangan”. Individu merupakan kesatuan aspek jasmani dan rohani. Dengan kemampuan rohaniahnya individu dapat berhubungan dan berfikir serta dengan pikirannya itu mengendalikan dan memimpin kesanggupan akali dan kesanggupan budi untuk mengatasi segala masalah dan kenyataan yang dialaminya.

Manusia sebagai mahluk individu memiliki unsur jasmani dan rohani, unsur fisik dan psikis, unsur raga dan jiwa. Seseorang dikatakan sebagai manusia individu manakala unsur-unsur tersebut menyatu dalam dirinya. Jika unsur tersebut sudah tidak menyatu lagi maka seseorang tidak disebut lagi sebagai individu. Dalam diri individu ada unsur jamani dan rohaninya, atau ada unsur fisik dan psikisnya, atau ada unsur raga dan jiwanya.

Ciri seorang individu tidak hanya mudah dikenali lewat ciri fisik atau biologisnya. Sifat, karakter, perangai, atau gaya dan selera orang juga berbedabeda. Lewat ciri-ciri fisik seseorang pertama kali mudah dikenali. Ada orang yang gemuk, kurus, atau langsing, ada yang kulitnya coklat, hitam, atau putih, ada yang rambutnya lurus dan ikal. Dilihat dari sifat, perangai, atau karakternya, ada orang yang periang, sabar, cerewet, atau lainnya.           

Seorang individu adalah perpaduan antara faktor genotip dan fenotip. Faktor genotip adalah faktor yang dibawa individu sejak lahir, ia merupakan faktor keturunan, dibawa individu sejak lahir. Secara fisik seseorang memiliki kemiripan atau kesamaan ciri dari orang tuanya, kemiripan atau persamaan itu mungkin saja terjadi pada keseruluhan penampilan fisiknya, bisa juga terjadi pada bagian-bagian tubuh tertentu saja.

Kalau seorang individu memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dibawa sejak lahir, ia juga memiliki ciri fisik dan karakter atau sifat yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan (faktor fenotip). Faktor lingkungan (fenotip) ikut berperan dalam pembentukkan karateristik yang khas dari seseorang. Istilah lingkungan merujuk pada lingkungan fisik dan lingkungan sosial. Lingkungan fisik seperti kondisi alam sekitarnya, baik itu lingkungan buatan seperti tempat tinggal (rumah) dan lingkungan. Sedangkan lingkungan yang bukan buatan seperti kondisi alam geografis dan iklimnya.

Menurut (Effendi, 2010) , kepribadian adalah keseluruhan perilaku individu yang merupakan hasil interaksi antara potensi-potensi bio-psikofisikal (fisik dan psikis) yang terbawa sejak lahir dengan rangkaian situasi lingkungan, yang terungkap pada tindakan dan perbuatan serta reaksi mental psikologisnya, jika mendapat rangsangan dari lingkungan.

Manusia Sebagai Makhluk Sosial

Dalam kehidupan sehari-hari kita tidak lepas dari pengaruh orang lain. Ketika kamu pergi ke sekolah, tidak bisa dengan seenaknya berpakaian menurut kehendak kamu sendiri. Kamu harus tunduk pada aturan menggunakan seragam. Ketika kamu memakai seragam, kamu berusaha untuk tampil yang menurut kamu akan dinilai pantas, baik, modis, atau necis oleh orang lain. Oleh karena itu manusia dikatakan sebagai mahluk sosial, yaitu mahluk yang didalam hidupnya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh manusia lain.

Manusia dikatakan sebagai mahluk sosial, juga dikarenakan pada diri manusia ada dorongan untuk berhubungan (interaksi) dengan orang lain. Ada kebutuhan sosial (social need) untuk hidup berkelompok dengan orang lain. Manusia memiliki kebutuhan untuk mencari kawan atau teman. Kebutuhan untuk berteman dengan orang lain, sering kali didasari atas kesamaan ciri atau kepentingannya masing-masing. Misalnya, orang kaya cenderung berteman lagi dengan orang kaya. Orang yang berprofesi sebagai artis, cenderung untuk mencari teman sesama artis lagi. 

Dengan demikian, akan terbentuk kelompok-kelompok sosial dalam masyarakat yang didasari oleh kesamaan ciri atau kepentingan. Manusia berbeda dengan hewan, untuk mempertankan hidupnya ia dibekali dengan akal. Insting yang dimiliki manusia sangat terbatas, ketika bayi lahir misalnya, ia hanya memiliki insting menangis. Bayi lapar maka ia menangis, kedinginan ia pun menangis, pipis ia pun menangis. 

Manusia memiliki potensi akal untuk mempertahankan hidupnya. Namun potensi yang ada dalam diri manusia itu hanya mungkin berkembang bila ia hidup dan belajar di tengah-tengah manusia. Untuk bisa berjalan saja, manusia harus belajar dari manusia lainnya. Bantuan manusia lainnya, manusia tidak mungkin bisa berjalan dengan tegak. Dengan bantuan orang lain, manusia bisa makan menggunakan tangan, bisa berkomunikasi atau bicara, dan bisa mengembangkan seluruh potensi kemanusiaannya. 

Dapat disimpulkan, bahwa manusia dikatakan sebagai mahluk sosial, karena beberapa alasan, yaitu: 

1. Manusia tunduk pada aturan, norma sosial. 

2. Perilaku manusia mengharapkan suatu penilaian dari orang lain. 

3. Manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi dengan orang lain. 

4. Potensi manusia akan berkembang bila ia hidup di tengah-tengah manusia.

Manusia Sebagai Makhluk Jasmani Dan Rohani

Menurut kodratnya, manusia terdiri atas jiwa dan raga, rohani dan jasmani yang saling berhubungan, saling melengkapi, tidak terpisahkan, bahkan disebut dengan monodualisme atau dwitunggal. Paham ini mengoreksi pendapat aliran monisme yang berpendapat bahwa hakikat manusia adalah jiwa dan raga tetapi tidak saling berhubungan. Sebagai kesatuan badani-rohani, manusia hidup dalam ruang dan waktu, sadar akan diri dan lingkungannya, mempunyai berbagai kebutuhan, insting, nafsu, serta mempunyai tujuan. Selain itu, manusia mempunyai potensi untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME dan potensi untuk berbuat baik, potensi untuk mampu berpikir (cipta), potensi berperasaan (rasa), potensi berkehendak (karsa), dan memiliki potensi untuk berkarya.

 Adapun dalam eksistensinya manusia memiliki aspek individualitas, sosialitas, moralitas, keberbudayaan, dan keberagaman. Implikasinya maka manusia itu berinteraksi atau berkomunikasi, memiliki historisitas, dan dinamika. Dalam implikasi pedagogisnya, pendidikan hendaknya mengembangkan kedua-duanya, baik aspek kejiwaan (akal, rasa, sikap, dan kehendak) maupun aspek keragaan (keterampilan jasmani). (Sumantri, 2015)

Manusia Sebagai Makhluk Mensejarah

Sejak pertama kali manusia menggunakan rasionya, telah berusaha menjawab berbagai persoalan tentang dirinya sendiri. Manusia telah membangun peradaban sebagai bukti dasar dan gambaran bahwa manusia selalu menjawab makna sebagai manusia. Peradaban, begitulah Ibnu Khaldun menjelaskan sebagai sarana manusia untuk mewujudkan dirinya sebagai manusia. Dengan demikian eksistensi manusia bukanlah barang yang statis, tetapi proses yang dinamis dan diwujudkan. Ibnu Khaldun (Hafidz, 2008) memandang bahwa kodrat manusia harus bisa dilihat dan diselidiki dari sisi kemungkinan dan kenyataan aktual, atau istilah Sastrapratedia dengan dan aktualitas. Possibilitas dan aktualitas manusia memberikan makna bahwa manusia terbuka pada dunia, kecenderungan perilakunya bergantung pada proses interaksi dirinya dengan alam semesta, manusia lain sebagai bentuk kerja sama dan solidaritas. Ini menandakan bahwa manusia berada dalam kondisi tertentu  sebagai bentuk keterbatasan manusia, baik dari sisi jasmani rohani, dan manusia menuju kesempurnaan untuk membangun dunianya yang hanya bisa ditentukan dalam proses perjalanan sejarah. 

Pandangan Ibnu Khaldun (Hafidz, 2008) ini memberikan penjelasan bahwa manusia diberi kebebasan untuk menentukan perjalanan sejarah hidupnya, budayanya, aturan sosial dan perilakunya. Pandangan seperti ini memberikan implikasi besar pada pemahaman akan pendidikan. Menurut Sastrapartedja pertama pendidikan harus dilihat sebagai aktivitas untuk mengubah kemungkinan yang didasarkan atas keterbukaan manusia menjadi aktualitas. Implikasi kedua adalah bahwa perilaku manusia tidak ditentukan sebelumnya. Dengan demikian bahwa dan aktualitas manusia terjadi secara bertahap dalam proses sejarah. 

Pandangan akan kesejarahan manusia ini memiliki implikasi yang luar biasa bagi dunia pendidikan. Pertama, kesadaran historis adalah kesadaran yang harus dibangun dalam pendidikan. Kesadaran historis menjadi penting dalam pendidikan untuk menyadarkan bahwa manusia itu produk dan sekaligus pencipta sejarah. Identitas manusia sebagai kelompok masyarakat, bangsa adalah sesuatu yang dinamis, berkembang dan berubah, senantiasa berada dalam ketegangan antara warisan tradisi dan semangat perubahan; reformasi. Kedua, kesadaran historis menjadi penting dalam dunia pendidikan dengan tujuan untuk membiasakan diri melihat berbagai persoalan masa kini yang harus dihadapi berhubungan erat dengan masa lalu sehingga berbagai persoalan dapat dilihat secara utuh dan pemecahan persoalan bisa menyeluruh. 

Keterbukaan dan kebebasan manusia dalam sejarah sangat berhubungan dengan watak alami manusia yaitu sosial kemasyarakatan. Hanya masalahnya adalah muncul ketegangan-ketegangan antara sosial dan individu, karena pada saat tertentu, kehidupan sosial memberikan kemungkinan perkembangan diri manusia, dan pada saat yang lain kehidupan sosial menghambat potensi kreatif manusia. Ketegangan antara individu dan sosial selalu menyertai perjalanan hidup manusia dalam sejarah, individu kadang-kadang dipaksa untuk menyerahkan seluruh kodratnya pada masyarakat dan mengabaikan kepentingan individu, dan kadang-kadang pula individu menuntut haknya menjadi dirinya sendiri dan mengabaikan yang lain. 

Dari perspektif ini, menurut Sastrapatedja baik pendidikan sebagai institusi maupun teori harus meninjau dan mengevaluasi terus menerus sistem pendidikan yang bersandar pada hakikat manusia, individualitas, dan sosiolitas dengan harapan agar kepentingan manusia sebagai individu tidak menjadi korban dari bangunan sistem sosial. Oleh sebab itu, pendidikan harus memperhatikan  keunikan, bakat, dan karakter peserta didik, tetapi pendidikan juga perlu memupuk rasa sosial, seperti kerja sama, tenggang rasa, keadilan sosial.


Next Post Previous Post
No Comment
Add Comment
comment url