Perkembangan Sosiologi dan Antropologi Pendidikan
Sosiologi dan antropologi sudah mengalami perkembangan dari masa ke masa hingga sekarang. Perkembangan tersebut terjadi dalam beberapa tahap. Agar Anda lebih memahami terkait perkembangan sosiologi dan antropologi, berikut adalah pembahasannya.
Perkembangan Sosiologi
Menurut Sokrates, Plato dan Aristoteles beranggapan bahwa manusia terbentuk begitu saja. Tanpa ada yang bisa mencegah, masyarakat mengalami perkembangan dan kemunduran.Pendapat itu kemudian ditegaskan lagi oleh para pemikir di abad pertengahan, seperti Agustinus, Ibnu Sina, dan Thomas Aquinas.
Mereka berpendapat bahwa sebagai makhluk hidup yang fana, manusia tidak bisa mengetahui, apalagi menentukan apa yang akan terjadi dengan masyarakatnya. Para ahli di zaman ini berpendapat bahwa pandangan mengenai perubahan masyarakat harus berpedoman pada akal budi manusia.
Perubahan-perubahan besar di abad pencerahan, terus berkembang secara revolusioner sepanjang abad ke-18 M. Sosiologi modern tumbuh pesat di benua Amerika, tepatnya di Amerika Serikat dan Kanada.
Perubahan masyarakat itu menggugah para ilmuwan sosial untuk berpikir keras, Mereka berupaya menemukan pendekatan baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat pada saat itu, maka lahirlah sosiologi modern.
Berkebalikan dengan pendapat sebelumnya, pendekatan sosiologi modern cenderung mikro (lebih sering disebut pendekatan empiris). Artinya, perubahan masyarakat dapat dipelajari mulai dari fakta sosial, Berdasarkan fakta sosial itu dapat ditarik kesimpulan perubahan masyarakat secara menyeluruh.
Sejak saat itulah disadari betapa pentingnya penelitian (research) dalam sosiologi. Awal perkembangan sosiologi dibentuk oleh setting sosialnya, yakni pada saat terjadi Revolusi Perancis dan revolusi industri yang terjadi sepanjang abad ke 19 yang menimbulkan kekhawatiran, kecemasan, dan perhatian para pemikir tentang dampak yang ditimbulkan dari perubahan dahsyat dalam bidang politik dan ekonomi kapitalis masa itu.
Banyak ahli sepakat bahwa faktor yang melatarbelakangi kelahiran sosiologi adalah adanya krisis-krisis yang terjadi di dalam masyarakat, terutama perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat. Seringkali sosiologi disebut sebagai ”ilmu keranjang sampah” karena membahas masalah yang tidak dipelajari ilmu-ilmu sebelumnya. Selain itu, kajiannya lebih memfokuskan pada problem kemasyarakatan yang timbul akibat krisis-krisis sosial yang terjadi.
Istilah “sociology” pertama kali dicetuskan oleh August Comte yang kemudian tokoh tersebut dianggap sebagai “Bapak Sosiologi”. Dia berpandangan bahwa sosiologi harus didasarkan pada observasi dan klasifikasi yang sistematis, bukan pada kekuasaan atau spekulasi.
Comte sangat menekankan makna ilmiah dari sosiologi, bahkan lahirnya disiplin ilmu tersebut terikat kepada metode pengamatan yang dipakai oleh ilmuilmu alam untuk mempelajari gejala alam.
Para ilmuwan itu kemudian berupaya membangun suatu teori sosial berdasarkan ciri-ciri hakiki masyarakat pada tiap tahap peradaban manusia. Dalam buku itu, Comte menyebutkan ada tiga tahap perkembangan intelektual, yang masing-masing merupakan perkembangan dari tahap sebelumya. Tiga tahapan itu adalah sebagai berikut.
- Tahap teologis; adalah tingkat pemikiran manusia bahwa semua benda di dunia mempunyai jiwa dan itu disebabkan oleh suatu kekuatan yang berada di atas manusia.
- Tahap metafisis; pada tahap ini manusia menganggap bahwa di dalam setiap gejala terdapat kekuatan-kekuatan atau inti tertentu yang pada akhirnya akan dapat diungkapkan. Oleh karena adanya kepercayaan bahwa setiap cita-cita terkait pada suatu realitas tertentu dan tidak ada usaha untuk menemukan hukum-hukum alam yang seragam.
- Tahap positif; adalah tahap dimana manusia mulai berpikir secara ilmiah.
- Herbert Spencer memperkenalkan pendekatan analogi organik, yang memahami masyarakat seperti tubuh manusia, sebagai suatu organisasi yang terdiri atas bagian-bagian yang tergantung satu sama lain.
- Karl Marx memperkenalkan pendekatan materialisme dialektis, yang menganggap konflik antar-kelas sosial menjadi intisari perubahan dan perkembangan masyarakat.
- Emile Durkheim memperkenalkan pendekatan fungsionalisme yang berupaya menelusuri fungsi berbagai elemen sosial sebagai pengikat sekaligus pemelihara keteraturan sosial.
- Max Weber memperkenalkan pendekatan verstehen (pemahaman), yang berupaya menelusuri nilai, kepercayaan, tujuan, dan sikap yang menjadi penuntun perilaku manusia. Herbert Spencer mempopulerkan istilah sosiologi dalam bukunya yang berjudul Principle of Sociology (1876). Dia menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial.
Emile Durkheim dengan bukunya Rules of Sociological Method menguraikan pentingnya metodologi ilmiah dalam sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Durkheim kemudian dikenal sebagai ”Bapak Metodologi Sosiologi”.
Menurutnya, tugas sosiologi adalah mempelajari fakta-fakta sosial, yakni suatu kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal, tetapi mampu mempengaruhi perilaku individu. Durkheim mengatakan bahwa kita harus memperlakukan fakta-fakta sosial “sebagaimana kita memperlakukan benda”.
Max Weber berbeda pendekatan dengan Durkheim. Menurut Weber, sosiologi sebagai ilmu yang berusaha memahami masyarakat dan perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya, semestinya tidak hanya berbicara masalah-masalah pengukuran yang bersifat kuantitatif dan sekedar mengkaji pengaruh faktor eksternal, tetapi sosiologi berupaya memahami di tingkat makna.
Jadi sosiologi adalah suatu ilmu yang berusaha memahami tindakan sosial melalui penafsiran agar memperoleh suatu penjelasan kausal mengenai tujuan serta akibatnya. Perkembangan sosiologi semakin variatif memasuki abad ke 20.
Untuk mengungkapkan hakekat yang benar dari manusia, benda-benda dan peristiwa-peristiwa, metode ini bukan didasarkan kepada pertimbangan kenyataan, melainkan “pertimbangan nilai”, yaitu aturan-aturan tingkah laku atau norma-norma yang diambil sebagai pertimbangan.
Sebelum Auguste Comte, ada beberapa penulis yang mempelajari fakta-fakta sosial secara ilmiah, seperti Aristoteles sebagai perintis, kemudian Machiavelli (The Prince, 1532) dan Jean Bodin (The Republic, 1577).
Montesquieu dalam bukunya Spirit of Laws (1748) adalah karya pertama dalam sosiologi politik, “disini kita laporkan apa yang ada dan bukannya apa yang seharusnya ada” (das Sein, bukan das Sollen). Pada abad ke 19 penelitian ilmu-ilmu sosial mencapai langkahnya secara obyektif ilmiah.
Ada perubahan pandangan dari para ahli bahwa fakta-fakta sosial dipandang berbeda dengan benda-benda. Karena itu sangatlah sulit menemukan klasifikasi alami dari fakta-fakta sosial karena dari waktu ke waktu terjadi perubahan.
Menurut pendapat Drs. Ary H. Gunawan (dalam Setianto et.al, 2021:7) bahwa sejarah sosiologi pendidikan terdiri dari 4 fase, yaitu:
- Fase pertama, di mana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial.
- Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk membangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial.
- Sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah orang yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat. Saint Simon dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho Politique”. Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri.
- Pada fase terakhir ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.
Perkembangan Antropologi
Pusat kajian antropologi berkembang dari masa ke masa, sehingga konsekuensi dari hal tersebut terjadi pada objek penelitian yang dilakukan oleh para ahli tersebut yang juga mengalami perkembangan pula. Menurut Koentjaraningrat (2009) perkembangan antropologi terbagi dalam empat fase sebagai berikut.
Fase pertama (sebelum 1800)
Sebagaimana diketahui bahwa pada awal perkembangannya, antropologi pertama kali bisa dilacak pada kedatangan bangsa Eropa Barat ke berbagai Benua antara lain seperti Afrika, Asia, dan Amerika. Penjelajahan bangsa Eropa ini berlangsung dalam kurun waktu yang cukup lama, yaitu berlangsung selama 4 abad dimulai sejak abad ke 15 sampai dengan permulaan abad ke -16.
Kedatangan bangsa Eropa telah membawa pengaruh yang cukup berarti bagi berbagai suku bangsa ketiga benua tersebut. Sebagai konsekuensi dari proses perjalanan tersebut, pada akhirnya kumpulan-kumpulan tulisan yang sebelumnya terserak dan tidak jelas dari para musafir, pelaut, pendeta penyiar agama Nasrani, penerjemah Kitab Injil, dan pegawai pemerintah jajahan bentuk kisah perjalanan, laporan dan sebagainya, dapat terdokumentasi dengan baik.
Masa di mana proses perjalanan dilaporkan secara baik juga diuraikan oleh Metcalf di atas yang menguraikan bahwa generasi pertama lebih menitikberatkan pada laporan-laporan hasil perjalanan panjang mereka ke berbagai benua.
Sehingga isi dari buku-buku yang ada meliputi berbagai pengetahuan berupa deskripsi tentang berbagai aspek kehidupan masyarakat setempat, seperti keberadaan adat istiadat, susunan masyarakat, dan ciri-ciri fisik dari beragam suku bangsa baik di Afrika, Asia, Oseania (kepulauan di lautan teduh) maupun suku bangsa Indian, yakni penduduk pribumi Amerika. Bahan deskripsi inilah yang kemudian disebut sebagai “etnografi”. Secara literal, entografi ini berasal dari kata ethos yang berarti bangsa.
Namun demikian, deskripsi tersebut acapkali tidak jelas atau mengalami kekaburan, tidak teliti, dan hanya memperhatikan hal-hal yang tampak ganjil atau aneh bagi para peneliti, meskipun tidak dinafikan ada pula tulisan yang termasuk kategori baik dan teliti.
Berangkat dari realitas tersebut, kaum terpelajar bangsa Eropa Barat terbelah dalam menyikapi temuan yang ada. Mereka memiliki pandangan yang pada akhirnya terbagi dalam tiga macam sikap yang bertentangan dengan bangsa-bangsa di Afrika, Asia, Oseania, dan orang-orang Indian di Amerika yakni:
- Kelompok pertama beranggapan bahwa bangsa-bangsa yang diteliti bukanlah manusia yang sebenarnya, melainkan tergolong manusia liar, keturunan iblis dan sebagainya. Realitas seperti inilah yang pada gilirannya menghantarkan mereka pada sebuah kesimpulan bahwa bangsa-bangsa yang ia temukan termasuk dalam kategori yang mereka sebut dengan istilah sepert savages, primitives, dan sejenisnya. Istilah-istilah ini kemudian umum dipakai untuk memberikan image kepada bangsa-bangsa tersebut.
- Kelompok kedua berpandangan bahwa masyarakat bangsa-bangsa yang dijelajahi tersebut merupakan contoh dari masyarakat yang masih murni (original), dan belum terkontaminasi oleh berbagai hal yang terjadi di luar, di mana mereka umumnya belum mengenal kejahatan dan keburukan seperti yang dikenal dan terjadi pada masyarakat bangsa-bangsa di Eropa Barat.
- Kelompok ketiga tertarik terhadap adat istiadat yang aneh, dan mulai mengumpulkan benda-benda kebudayaan dari suku-suku bangsa di Afrika, Asia, Oseania dan Amerika pribumi. Kumpulan-kumpulan bahan pribadi tadi kemudian ada yang dihimpun menjadi satu, dengan tujuan agar dapat diakses oleh umum. Kondisi ini pada akhirnya mendorong terbangunnya berbagai museum-museum pertama tentang kebudayaan-kebudayaan bangsa di luar Eropa.
Fase kedua (pertengahan abad ke-19)
Pada fase kedua ini, fenomena integrasi yang baru dan berbeda dari sebelumnya terjadi. Hal ini ditandai dengan adanya fakta bahwa karangan-karangan etnografi disusun berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat.
Lebih tepatnya, cara berpikir yang ada dapat dirumuskan melalui sebuah pemikiran bahwa masyarakat dan kebudayaan manusia telah berevolusi dengan sangat lambat, yakni terjadi dalam jangka waktu yang cukup lama sampai beribu-ribu tahun, melalui berbagai tingkatan-tingkatan, di mulai dari tingkat-tingkat yang rendah melalui beberapa tingkat antara, sampai dengan tingkat-tingkat yang tertinggi.
Dalam konteks ini, para ahli antropologi berkesimpulan bahwa bentuk masyarakat dan kebudayaan yang tertinggi itulah bentuk masyarakat dan kebudayaan seperti di Eropa Barat yang notabene dianggap sudah lebih maju. Sementara bentuk masyarakat dan kebudayaan dari bangsabangsa di luar Eropa yang mana disebut primitives oleh bangsa Eropa merupakan contoh dari tingkat kebudayaan lebih rendah, yang notabene masih hidup sampai saat ini sebagai sisa-sisa dari kebudayaan zaman dulu.
Dengan demikian, antropologi dalam fase kedua ini memiliki karakterisitik berupa ilmu yang akademikal dengan tujuan dirumuskan untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan primitif tersebut yang memiliki tujuan agar memperoleh suatu makna atau pengertian tentang tingkat-tingkat kuno dalam sejarah evolusi dan sejarah penyebaran kebudayaan manusia di suatu bangsa.
Fase ketiga (Permulaan abad ke-20)
Dalam fase ketiga ini ditandai dengan keberadaan Negara penjajah di Eropa yang berhasil menancapkan cengkeraman kekuasaan di daerahdaerah jajahan di luar Eropa. Demi kepentingan pemerintah jajahan tersebut, di mana ketika itu secara langsung berhadapan dengan bangsabangsa terjajah, maka disiplin ilmu antropologi sebagai suatu ilmu, yang mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa tersebut, justru menjadi hal yang sangat krusial.
Sejak saat itu, dikembangkanlah pemikiran bahwa mempelajari bangsa-bangsa di luar Eropa merupakan hal yang sangat penting bagi pengetahuan mereka sebab secara umum keberadaan bangsa-bangsa tersebut masih mempunyai masyarakat yang sederhana atau belum kompleks.
Dari kondisi inilah pada akhirnya ilmu antropologi dengan sifat-sifat seperti di atas berkembang di Inggris sebagai negara penjajah dan hal ini juga terjadi di negara-negara kolonial lainnya.
Dalam fase ketiga ini, tampak jelas bagi kita bahwa ilmu antropologi pada gilirannya menjadi ilmu yang praktis, di mana tujuannya dapat dirumuskan menjadi dua hal penting yakni, tidak hanya untuk mempelajari masyarakat dan kebudayaan suku-suku bangsa di luar Eropa guna kepentingan pemerintah kolonial, tetapi juga sebagai upaya untuk mendapat suatu pengertian tentang masyarakat masa kini yang sangat kompleks.
Di sisi lain, yang tidak kalah penting adalah bahwa sejak abad ke-20, para ahli antropologi berpandangan bahwa model/cara-cara riset yang didesain oleh para ahli antropologi, adalah dalam rangka untuk menghindari sejauh mungkin kesimpulan yang salah, dan pada saat yang sama menyediakan dasar-dasar disiplin ilmu yang lebih modern.
Fase keempat (sesudah tahun 1930)
Dalam fase ini, ilmu antropologi tampak mengalami masa perkembangan yang sangat luas. Hal bisa dilihat baik dari sisi bertambahnya bahan pengetahuan yang jauh lebih teliti maupun mengenai ketajaman dari metode-metode ilmiahnya.
Pokok atau sasaran dari penelitian para ahli antropologi sejak fase ini adalah tidak hanya pada suku-suku bangsa primitif yang tinggal di benua-benua di luar Eropa saja, tetapi juga beralih kepada manusia yang secara umum di daerah pedesaan.
Para ahli antropologi berusaha menelisik secara mendalam berbagai macam aspek yang dimiliki oleh manusia baik dari aspek keragaman fisiknya, masyarakatnya, dan kebudayaan yang dimiliki.
Demikian juga dengan perhatian yang dilakukan, tidak hanya ditujukan kepada penduduk daerah pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku-suku bangsa di daerah pedesaan di Eropa seperti halnya suku bangsa Soami, Flam, Albania, dan sebagainya, demikian hal nya dengan penduduk beberapa kota kecil di Amerika Serikat (Middletown, Jonesville, dan lain-lain), tidak luput menjadi bahan perhatian dari para pakar antropologi.
Kalau kita tinjau secara cermat, secara umum, Ilmu Antropologi pada fase ini memiliki dua tujuan, yaitu tujuan akademis dan tujuan praktis. Tujuan akademis sebagaimana diuraikan sebelumnya dapat dilihat pada pencapaian pengertian tentang makhluk manusia pada umumnya dengan mempelajari keragaman bentuk fisiknya, masyarakat, serta kebudayaannya.
Sedangkan tujuan yang kedua yakni tujuan praktis dapat ditelisik dari aspek mempelajari manusia dalam keragaman masyarakat suku bangsa guna membangun masyarakat suku bangsa tersebut.