Layanan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus: Tuna Laras
Sendi Septian
4 Des, 2022
Adapun beberapa bentuk layanan pendidikan untuk anak dengan gangguan emosional dan perilaku yaitu:
1. Layanan Pendidikan Segregrasi
Sistem layanan pendidikan segregasi adalah sistem pendidikan yang terpisah dari sistem pendidikan anak normal. Pendidikan anak berkebutuhan khusus melalui sistem segregasi maksudnya adalah penyelenggaraan pendidikan yang dilaksanakan secara khusus, dan terpisah dari penyelenggaraan pendidikan untuk anak normal. ada tiga bentuk penyelenggaraan pendidikan dengan sistem segregasi, yaitu: sekolah luar biasa untuk tunalaras (slb-e) berasrama, kelas jauh/kelas kunjung, dan sekolah dasar luar biasa (sdlb) (Agustin, 2017).
a. Sekolah Luar Biasa untuk Tuna Laras (SLB-E)
Bagi anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang perlu dipisah belajarnya dengan anak yang lain karena kenakalannya cukup berat atau merugikan anak sebayanya. Sistem pengajarannya lebih mengarah ke sistem individualisasi. Sekolah Luar Biasa Berasrama (SLB-E) merupakan bentuk sekolah luar biasa yang dilengkapi dengan fasilitas asrama sehingga anak dengan gangguan emosi dan perilaku akan tinggal diasrama.
Pada SLB berasrama, terdapat kesinambungan program pembelajaran antara yang ada di sekolah dengan di asrama, sehingga asrama merupakan tempat pembinaan setelah anak di sekolah. Selain itu, SLB berasrama merupakan pilihan sekolah yang sesuai bagi anak dengan gangguan emosi dan perilaku yang berasal dari luar daerah karena mereka terbatas fasilitas antar jemput.
b. Kelas jauh atau kelas kunjung
Kelas kunjung adalah lembaga yang disediakan untuk memberi pelayanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus yang tinggal jauh dari SLB atau SDLB. Penyelenggaraan kelas jauh atau kelas kunjung merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam rangka menuntaskan wajib belajar serta pemerataan kesempatan belajar. Anak dengan gangguan emosi dan perilaku tersebar di seluruh pelosok tanah air, sedangkan sekolah-sekolah yang khusus mendidik mereka masih sangat terbatas di kota/kabupaten. Oleh karena itu, dengan adanya kelas jauh/kelas kunjung ini diharapkan layanan pendidikan bagi anak dengan gangguan emosi dan perilaku semakin luas.
Dalam penyelenggaraan kelas jauh/kelas kunjung menjadi tanggung jawab SLB terdekatnya. Tenaga guru yang bertugas di kelas tersebut berasal dari guru SLB-SLB di dekatnya. Mereka berfungsi sebagai guru kunjung (itenerant teacher). Kegiatan administrasinya dilaksanakan di SLB terdekat tersebut.
c. Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB)
Dalam rangka menuntaskan kesempatan belajar bagi anak berkebutuhan khusus, salah satunya anak dengan gangguan emosi dan perilaku maka pemerintah menyelenggarakan Sekolah Dasar Luar Biasa (SDLB). Tenaga kependidikan di SDLB terdiri dari kepala sekolah, guru untuk anak tunalaras, guru agama, dan guru olahraga. Selain tenaga kependidikan, di SDLB dilengkapai dengan tenaga ahli yang berkaitan dengan kelainan mereka antara lain dokter umum, dokter spesialis, fisiotherapis, psikolog, speech therapist,audiolog. Selain itu ada tenaga administrasi dan penjaga sekolah. Kurikulum yang digunakan di SDLB adalah kurikulum yang digunakan di SLB untuktingkat dasar yang disesuikan dengan kekhususannya. Kegiatan belajar dilakukan secara individual, kelompok, dan klasikal. Pendekatan yang dipakai juga lebih ke pendekatan individualisasi.
2. Layanan Pendidikan Terpadu atau Terintegrasi
Bentuk layanan pendidikan terpadu/integrasi adalah sistem pendidikan yang memberikan kesempatan kepada anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku untuk belajar bersama-sama dengan anak biasa (normal) di sekolah umum (Noviandari & Huda, 2018). Dengan demikian, melalui sistem integrasi anak dengan gangguan emosi dan perilaku bersamasama dengan anak normal belajar dalam satu atap.
Sistem pendidikan integrasi disebut juga sistem pendidikan terpadu, yaitu sistem pendidikan yang membawa anak dengan gangguan emosi dan perilaku kepada suasana keterpaduan dengan anak normal. Keterpaduan tersebut dapat bersifat menyeluruh, sebagaian, atau keterpaduan dalam rangka sosialisasi.
Pada sistem keterpaduan secara penuh dan sebagian, jumlah anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku dalam satu kelas maksimal 10 % dari jumlah siswa keseluruhan.
Untuk membantu kesulitan yang dialami oleh anak dengan gangguan emosi dan perilaku, di sekolah terpadu disediakan Guru Pembimbing Khusus (GPK). GPK dapat berfungsi sebagai konsultan bagi guru kelas, kepala sekolah, atau anak dengan gangguan emosi dan perilaku itu sendiri. Selain itu, GPK juga berfungsi sebagai pembimbing di ruang bimbingan khusus atau guru kelas pada kelas khusus.
Terdapat tiga bentuk keterpaduan dalam layanan pendidikan bagi anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku yaitu bentuk kelas biasa, kelas biasa dengan ruang bimbingan khusus, dan bentuk kelas khusus.
Dalam bentuk keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku belajar di kelas biasa secara penuh dengan menggunakan kurikulum biasa. Oleh karena itu sangat diharapkan adanya pelayanan dan bantuan guru kelas atau guru bidang studi semaksimal mungkin dengan memperhatikan petunjuk-petunjuk khusus dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar di kelas biasa. Bentuk keterpaduan ini sering juga disebut keterpaduan penuh.
Dalam keterpaduan ini guru pembimbing khusus hanya berfungsi sebagai konsultan bagi kepala sekolah, guru kelas/guru bidang studi, atau orangtua anak berkebutuhan khusus. Sebagai konsultan, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai penasehat mengenai kurikulum, maupun permasalahan dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Oleh karena itu perlu disediakan ruang konsultasi untuk guru pembimbing khusus, pendekatan, metode, cara penilaian yang digunakan pada kelas biasa ini tidak
berbeda dengan yang digunakan pada sekolah umum.
Pada keterpaduan ini, anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku belajar di kelas biasa menggunakan kurikulum biasa serta mengikuti pelayanan khusus untuk mata pelajaran tertentu yang tidak dapat diikuti bersama dengan anak normal. Pelayanan khusus tersebut diberikan di
ruang bimbingan khusus oleh guru pembimbing khusus (GPK), dengan menggunakan pendekatan individu dan metode peragaan yang sesuai. Untuk keperluan tersebut, di ruang bimbingan khusus dilengkapi dengan peralatan khusus untuk memberikan latihan dan bimbingan khusus. Keterpaduan pada tingkat ini sering disebut juga keterpaduan sebagian.
Dalam keterpaduan ini anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku mengikuti pendidikan sama dengan kurikulum di SLB secara penuh di kelas khusus pada sekolah umum yang melaksanakan program pendidikan terpadu. Keterpaduan ini disebut juga keterpaduan lokal bangunan
atau keterpaduan yang bersifat sosialisasi. Pada tingkat keterpaduan ini, guru pembimbing khusus berfungsi sebagai pelaksana program di kelas khusus. Pendekatan, metode, dan cara penilaian yang digunakan adalah pendekatan, metode, dan cara penilaian yang biasa digunakan di SLB. Keterpaduan pada tingkat ini hanya bersifat fisik dan sosial, artinya anak berkebutuhan khusus dapat dipadukan untuk kegiatan yang bersifat non akademik, seperti olahraga, keterampilan, juga sosialisasi pada waktu jam-jam istirahat atau acara lain yang diadakan oleh sekolah.
3. Pendidikan Inklusi
Beberapa penelitian juga mengungkapkan bahwa pendidikan yang tepat untuk anak- anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku ini adalah pendidikan Inklusif. Pendidikan inklusif ini sendiri merupakan pendidikan tidak berpihak pada homogenitas sekelompok siswa. Dengan kata lain secara implikasi pendidikan ini merupakan pendidikan yang tidak mengenal penyetaraan baik kemampuan akademik maupun non akademik bagi calon siswa, dan tidak pula mengenal istilah ‘mengeluarkan’ siswa dari sekolah karena bermasalah (Arriani, 2017).
Pendidikan ini memungkinkan siswa untuk belajar bersama dengan anak normal lainnya, dan menyatakan penerimaan sepenuhnya pada anak berkebutuhan khusus, termasuk didalamnya anak-anak
dengan ganggaun emosi dan perilaku. Beberapa hal yang sebenarnya menyebabkan pendidikan inklusif banyak direkomendasikan untuk pendidikan berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku yaitu pendidikan inklusif mau merekrut semua jenis siswa, pendidikan inklusif menghindarkan
semua aspek negatif seperti labeling, pendidikan inklusif selalu melakukan checks dan balances.
Pendidikan ini menyatakan bahwa anak yang beresiko tidak disukai bahkan mengalami penolakan lingkungan (Farell, 2008) sebagai sesuatu yang khas menimpa anak berkebutuhan khsus dengan gangguan emosi dan perilaku.
Labeling merupakan hal yang dapat memberikan dampak buruk pada mereka yang diberi label negatif, dan sering kali mereka yang mendapat label adalah anak-anak kebutuhan khusus (Agustin, 2017). Dengan penerimaan pada anak kebutuhan khusus dan normal dalam satu lingkungan belajar, tentu perasaan inferioritas tersebut bisa dihindarkan. Secara kongkrit, pendidikan inklusif berusaha menghindari label negatif dengan mengubah label yang ada dimasa lalu menjadi lebih positif dimasa kini. Pendidikan inklusif bukan hanya diatur oleh pihak formal, pemerintah dan sekolah sebagai penyelenggara.
Dimana pendidikan ini memerlukan keseimbangan terkait pihak-pihak yang berkaitan dengan siswa itu sendiri, seperti orangtua, masyarakat, serta ahli terkait dengan karakteristik khusus (Farrell, 2008).
Dalam konteks pendidikan anak berkebutuhan khusus dengan gangguan emosi dan perilaku, checks dan balances sangat berarti. Peran sekolah sebagai penyedia layanan pendidikan akan terbantu dengan kerjasama yang baik dari orangtua siswa sebagai guru sekaligus diagnostician gangguan emosi dan perilaku anak di rumah, komite sekolah yang juga dapat berperan dalam advokasi atas berbagai resiko
gangguan emosi dan perilaku yang ditimbulkan anak, dan ahli psikiatri serta psikolog sebagai penentu dan pemberi treatmen klinis gangguan emosi dan perilaku.
Sejalan dengan pendidikan Inklusif, hal yang juga penting untuk pendidikan anak dengan gangguan emosi dan perilaku adalah welcoming school (Persada & Efendi, 2018). Ketika komunitas sekolah, seperti guru dan anak-anak bekerja bersama-sama untuk meminimalkan hambatan yang dihadapi anak dalam belajar dan mempromosikan keikutsertaan dari seluruh anak di sekolah, maka ini merupakan salah satu ciri dari sekolah yang ramah (welcoming school).
Di Sekolah yang Ramah (welcoming schools) semua komunitas sekolah mengerti bahwa tujuan pendidikan adalah sama untuk semua, yaitu semua murid mempunyai hak untuk merasa aman dan nyaman (to be save and secure), untuk mengembangkan diri (to develop a sense of self), untuk membuat pilihan (to make choices), untuk berkomunikasi (to communicate), untuk menjadi bagian dari komunitas (to be part of a community), untuk mampu hidup dalam situasi dunia yang terus berubah (live in a changing world), untuk menghadapi banyak transisi dalam hidup, dan untuk memberi kontribusi yang bernilai (to make valued contributions).
Pada akhirnya, setiap model layanan pendidikan yang dikembangkan akan berhasil jika guru sebagai pengajar sekaligus pendamping siswa harus mampu mengkondisikan supaya kebutuhan pendidikan bagi masing-masing anak terpenuhi dengan baik.
Seperti yang dikemukakan oleh Tirtayani (2017), bahwa terdapat beberapa hal mendasar yang harus dilakukan oleh seorang guru terhadap anak berkebutuhan khusus yaitu:
a. Menghilangkan persepsi negatif, artinya dari awal guru tidak boleh beranggapan bahwa anak tersebut tidak akan mampu mengikuti pembelajaran justru diberikan motivasi khusus dengan strategi yang tepat.
b. Upaya monitoring peran, guru harus senantiasa menyadari bahwa pengelolaan pembelajaran yang dilakukan adalah berbeda dengan pembelajaran pada umumnya karena peserta didik yang memiliki kebutuhan khsus akan sangat berbeda perlakuan-perlakuan yang diberikan dibandingkan anak dengan kondisi normal.
c. Berefleksi dan memiliki harapan pada peserta didiknya, apabila peserta didik belum mampu mencapai tujuan pembelajaran maka guru juga harus melakukan refleksi terhadap metode dan startegi yang dirancang serta menaruh harapan tersendiri pada peserta didik agar kelak mereka mampu memiliki kemampuan untuk pencapaian hasil belajar yang lebih baik lagi.